Islam, dan Tantangan Harmoni Papua di Tengah Kekerasan Bersenjata
Terkini.id, Sorong – Islam tidak dipandang sebagai agama yang melekat dengan Tanah Papua. Stigma ini menjadikan citra bahwa muslim sesungguhnya pendatang.
Sampai kemudian terbit buku yang merupakan konversi dari disertasi Toni Wanggai (2009). Dimana memberikan ulasan terkait konstruksi sejarah umat Islam di Tanah Papua.
Secara aktif pula, pihak gereja juga memberikan pengakuan dimana Ottow dan Geissler ketika tiba di Mansinam untuk misi Protestan, tidak dapat dilepaskan dari peran umat Islam.
Narasi ini juga disampaikan secara berulang semasa peringatan Hari Masuknya Injil di 5 februari setiap tahun.
Termasuk Ketika Manokwari diusulkan oleh pihak-pihak tertentu untuk ditasbihkan menjadi Kota Injil, justru mendapatkan penolakan dari kalangan gereja sendiri.
Pandangan itu sesekali mengemuka bahwa masyarakat muslim sebagai pendatang. Terlebih lagi, ditengah maraknya kembali kekerasan bersenjata. Lagi-lagi yang korban adalah masyarakat sipil, yang selalu saja secara kebetulan adalah muslim.
Daerah Puncak Jaya, begitu pula di Wamena, Jayawijaya. Dimana bersebaran profesi pedagang, guru, tenaga kesehatan, sopir, ataupun pengojek. Merekalah yang selalu menjadi incaran para pelaku kekerasan.
Ini tak lebih untuk melahirkan kecemasan. Dengan dalih menolak pembicaraan terkait dengan revisi undang-undang otonomi khusus Papua.
Padahal sebelumnya, kekerasan juga kerap terjadi dengan dalih yang lain, atas nama kemerdekaan.
Kita melihat sejenak bagaimana demonstrasi yang berujung pada pembakaran kediaman dan tempat usaha. Di masa itu, ada unjuk rasa dimana ujaran rasisme dengan metafora binatang di Surabaya.
Ada orang yang tak berdosa, tak terkait sama sekali dengan pelaku di Jawa. Justru merekalah yang menjadi korban. Rumahnya terbakar, tempat usaha rata dengan tanah.
Walaupun demikian, sebagaimana dalam kasus Wamena (2019), masyarakat muslim tidak menjadikan ini sebagai isu pertikaian etnis. Bolehjadi ini merupakan cara para pelaku kekerasan, baik yang mendasarinya dengan alasan otsus maupun kemerdekaan untuk memancing pertengkaran.
Islam justru menjadi pembawa ketenangan, dan kedamaian di setiap penjuru Tanah Papua. Sekalipun tetap saja ada upaya pihak tertentu untuk mendegradasi keberadaan masyarakat muslim, dengan melabelinya sebagai pendatang.